Wednesday, February 12, 2003

In memories

Segala sesuatu di dunia ini hanyalah faktor penguji bagi diriku sendiri. Selain Tuhan dan aku, tidak ada yang mengetahui apa yang kurasakan. Tuhan menciptakanku dengan segala kesempurnaan, aku setuju hidup di dunia dengan segala konskuensi yang mesti ku tanggung. Aku diberi kesempatan untuk berikhtiar merubah nasib dengan sekuat tenaga, namun Tuhan menentukan dengan takdir yang telah pasti di genggamanNya. Aku dan faktor pengujiku takkan mampu merubah takdir, karena telah berjalan dan terlalui. Rencana adalah pengubah takdir sekaligus penentu bagiku dan pengujiku untuk sekarang dan yang akan datang. Rencana yang tiada ikhtiar didalamnya hanyalan khayalan, bagiku cukuplah sedikit yang penting dapat ku nikmati dengan rasa syukur.

Cukuplah gelap di liang lahat dan himpitan tanah liat sebagai teman. Engkau Hui Tcen, hanyalah penguji perasaan dan ketabahan dalam menjalani hidup. Setiap insan dikaruniai satu jantung dan satu hati, namun di dalamnya berjuta rasa yang saling berkecamuk, berbenturan, menggerogoti, menghancurkan dan saling menenangkan.
Masih teringat setahun lalu waktu engkau aku ajari bagaimana mengetahui ilmu pasti. Setiap ku dampingi, kurasakan desah ibamu kepadaku, aku salah mengartikan, harusnya itu adalah faktor penguji lain penentu takdir yang lain. Saat itu hatiku yang didalamnya telah terkubur segala perasaan sayang, cinta, birahi, benci dan marah, bersama dengan terkuburnya takdirku di liang lahatnya. Hui Tcen, saat itu rasa ibamu terhadapku membuat aku tergugah kembali. Membangkitkan hati yang di dalamnya ada perasaan, membuka lebar pintu batu kubur dimana perasaanku mulai membusuk didalamnya.
Jantungku berdenyut sebagai penanda lampau, sekarang dan yang akan datang. Segarnya hati, meronanya wajah, bergetarnya jantung, berkuasanya rasa sayang mulai bermunculan sebagai penguji yang saat itu belum ku sadari. Denyutan demi denyutan jantung menjadikan pembatas atas nama waktu. Jam, Hari, Bulan dan Tahun mulai terlampaui tanpa terasa. Hui Tcen, engkaulah karib terdekat dan penguji terdahsyat. Tuhan selalu memperhatikanku, tapi aku tak memperhatikan soal ujianNya yang sungguh skematis, dramatis dan sebenarnya aku memahaminya. Seiring dengan itu langkahku semakin berani menghampiri ujian yang berupa godaan. Segala macam prinsip yang ku pegang helai demi helai berguguran. Aku hidup menjalani konskuensi seperti onggokan jasad tak bernurani.
Sekarang ku ingat betul saat berbagi ketenangan yang merupakan kenangan terdahsyat, yang sebenarnya membuatku sangat malu. Karena aku sebenarnya sombong diatasnya. Hui Tcen, masih ku ingat betul merdu suara di telinga saat pertama kau panggil aku Bang. Sayangnya saat itu kau panggil aku tak langsung, sehingga tak kulihat tarian bibir indahmu dengan kata itu. Aku mulai merasa segar dan tegar, masa depan mulai terlihat di depan ku. Langkah takdir baru akan segera bercerita, khayalku saat itu. Pikiranku melupakan sejenak bahwa sebenarnya engkau adalah soal ujian yang harus ku selesaikan.
Tepat tiga windu kesempatan untuk menempuh ujian, cobaan diiringi langkah waktu telah ku tempuh. Warna biru kemilau engkau berikan sebagai tanda kenangan melingkar di pergelangan tanganku. Pemberianmu itu mengingatkanku pada kesempatan hidup yang diberikan Tuhan yang semakin berkurang, detak detik melingkar yang kadang ku bawa tidur, nelamun, berkarya dan mengkhayal. Hui Tcen, aku kira engkau tahu bahwa kemilaunya membuat kemilau juga didalam sana yang dipenuhi dengan dua macam aliran darah.
Aku mulai melupakan bahwa sebenarnya aku pernah terkubur. Entah mengapa gelap yang menyelubungi langkah dan pikiranku saat itu menjadi terang benderang. Rupanya ini soal ujian sarat makna. Setiap apa yang ku lakukan memiliki makna dan untuk siapa aku melakukan ini. Hui Tcen, sebenarnya kalau boleh aku jujur, ini semua untukmu. Hanya saja aku bingung dari mana aku harus menampakkannya dihadapanmu. Kebangkitanku kurasakan hanya untukmu, setiap apa yang kukesahkan padamu menjadikan kata-katamu adalah kesaktian pendekar tanpa tanding, apapun bisa tercapai. Itu adalah semangat. Hui Tcen, ketika aku melangkah rintangan bertubi, apa yang ku inginkan kadang terhenti, putus asa membayang-bayangiku terus, aku berhenti sejenak malamunkanmu wahai Hu Tcen. Tersirat wajahmu yang lugu seakan memintaku jangan pernah berhenti sebelum tercapai. Senyummu menamparku, sebagai cambuk bagi kelemahan langkahku sehingga ku kuat lagi untuk mengejar cita.
Sungguh indah soal ujian yang satu ini, aku suka dan ingin sekali ujian itu memberikanku nilai lebih dari soal-soal lain.
Ketika ku ingat kembali kesombongan ketenangan yang pernah ku miliki, ku pamerkan padamu. Begitu terkesimanya engkau mendengarkannya, aku malu dan merasa berdosa karena mungkin itu catatan ujian tentang ke ikhlasan. Kenangan masa lampau dan waktu itu bercampur jadi satu. Ingatanku saling silang bertemu lampau dan kini. Aku tahu aku telah salah dalam mengerjakan ujian ini, hingga pernah ku katakan bahwa tiada yang baik selain yang telah terkubur, ini membuatmu sakit hingga kini. Hui Tcen, maafkan hatiku, jantungku yang harus berdebar ketika harus teringat hal itu.
Meski kata dan coretan merah dikertas putih jawaban ujian ternodai dengan kata kasar yang menyinggungmu, nyatanya engkau tetap memperhatikanku. Hui Tcen, engkaulah yang mengenalkan kata sayang dan maknanya. Pertama atau kedua begitu pentingnya bagimu, sehingga harus ku akui aku tak sempurna lagi dimatamu. Tapi ringannya langkahmu dalam mendukungku dan menopang semangatku membuat rintangan serasa teman, halangan seperti karib, putus asa sebagai akhir kalimat ujian. Aku memiliki penuh kasih sayangmu, wahai Hui Tcen. Aku merasa memilikmu. Kemana aku melangkah engkau menjadi tujuan dan harapan dari langkahku.
Ketika engkau kehilangan, aku sebagai curahan hatimu, kekesalanmu. harus ku akui, sebenarnya aku tak bisa berbuat banyak untuk membantumu, bahkan hanya sekedar kata-kata semangat yang mendinginkan kekecewaanmu saat itu. Saat keterpurukan karena musibah yang meski engkau jalani, tak pernah kata putus asa terucap dalam mendukung semangatku.
Sampai kini aku berada dalam ruang ujian, tiada akhir kecuali terus berlanjut sampai kepenatan hidup berakhir dan jantung berhenti berdetak