Monday, December 07, 2009

Mendatangi kerinduan

Lagu yang sayup melantun menebar aroma penuh perasaan, memporak-porandakan hati yang tadinya sudah pernah sedikit kokoh. Ada apa dengan hatiku ini? Ketika malam buta dan hanya serangga malam yang terdengar serta sesekali kokok ayam jantan nyaring terdengar. Kesejukan dan setiap kesejukan relung malam selalu menghampiri rasa ini.
Rasa rindu kebersatuan, rasa rindu kebertemuan, rasa rindu ini,.... terasa ingin memeluk sampai melebur. Namun keinginan, keserakahan, dan keberkecamukan akal logika selalu saja muncul membenihkan pengandai-andaian. Lagu itu terdengar lagi. Rasa itu tetap sama. Ada apa ini? Apakah tak kan pernah terkokohkan hati ini? Rindu, ... rindu yang tak kan pernah bisa diterjemahkan dengan segala kamus kata-kata yang ada. Meski dingin membekukan segala cairan setiap dua pertiga malam, namun karena hangatnya kerinduan tetap saja melelehkan buliran air mata. Meski,... badan menggigil, meski senyap memanggil. Alam logika tertinggal, dan mulai masuk ke dimensi yang tak tergambarkan. Kerinduan,... hati, perasaan mulai hangat, jantung berdegup lamban dan berat. Senyapnya panggilan malam menghampiri fajar terpecahkan dengan suara keras yang mengejutkan. membuat jatuh terjerembab ke dalam alam logikaku lagi. Kenikmatan rindu ini ,... terpecahkan. Dasar tokek, ganti dong suaramu!, agar tak seperti malam-malam sebelumnya, agar tetap kunikmati rasa ini. Meski beratnya perasaan menjadi ringan, meski suntuknya fikiran menjadi lega aku tetap ingin terlena dalam kedalaman rindu. Lantunan lagu itu sayup terdengar dari arah yang lain. Tapi rasa ini tetap sama. Ada apa ini? Padahal aku sudah tidak ada di tempat yang sama pada malam-malam dan siang-siang seperti sebelumnya. Tapi ini lain, kelihatannya rasa ini lain,... lain dari rasa-rasa sebelumnya. Rasa yang ini menjadikan debar yang tak hangat. Menjadikan yang beku tetap dingin beku. Menjadikan yang biasanya leleh tetap lengket. Ada apa ini? Kenapa yang tadinya hangat sekarang berubah pedih? Tidak adakah jalan untuk menemui kenikmatan seperti sebelumnya,...? Aku rindu,... tolong,... aku rindu sekali pada rasa seperti sebelumnya. Tolooong,... hantarkan aku,... ke dalam kerinduan itu lagi. Tolonglah!,... kan ku bayar dengan kilauan buliran air mata, dengan guncangan tubuh merana, dengan meninggalkan logika,...please,... toloong sampaikan kepada rindu rasa ini. Apakah aku tak kan mampu lagi bertemu,... dalam menikmatimu,... Dimana lantunan lagu yang sebelumnya terdengar sayup,...? Knapa sudah tidak muncul lagi? apakah aku sudah tuli? apakah rasa ini sudah tertutup? Oooh lagu penghantar debar,... muncullah. Kumohon hantarkan aku lagi. Tidak cukupkan permintaanku ini padamu? Perlukah aku menggunakan logika ini? Baiklah kalau begitu! Wahai tokek pemecah kesunyian malam,... maafkan aku yang sebelumnya membentak agar kau mengganti suaramu. Ternyata engkaulah yang mengingatkan keterlenaan ini, ternyata engkaulah teman dingin dan sepi dan engkaulah yang terbiasa dengan ini. Meski lagu pengantar debar tak muncul di tempat ini, tapi rasa aneh ini masih lain dari sebelumnya. Masih tetap berubah. Masih tetap merindu pada kerinduan sejatinya rindu. Di sini, disitu, dan disana aku tetap merasakan rasa yang aneh. Tapi bukan rasa-rasa seperti sebelumnya. Oia apakah karena logika sudah ikut berperan? sehingga rasa itu takut menghampiriku? apakah seperti itu? Apakah akal fikiran itu sama dengan logika? Waaaah,... kalau begini, berarti sudah masuk dimensi lain dari sebelumnya. Kalau ini dimensi akal fikiran. Meski begitu,... rasanya aku ingin menggunakan akal fikiran dan menaggalkan logika untuk meraih rasa rindu. Dalam dimensi logika ini ternyata rinduku yang berlainan itu memang lain adanya. Tak kan pernah bisa sama atau menyamai. Wahai saudaraku,... toloong, bantulah aku menemuai rindu-rinduku lagi.

No comments: