Tuesday, December 29, 2009

Belahan jiwa,... maafkan

Maafkan logika kejujuranku,…
Maafkan khilafku,…
Maafkan,….

Wahai belahan jiwa,…
Maafkan jika ku renggut khusyu’mu,..
Malam itu,… Bukan maksudku untuk meneteskan air matamu
Wahai belahan jiwa,… teteskanlah air matamu hanya untuk Nya
janganlah untukku,…
wahai belahan jiwa,… maafkan,… yang salah artikan rona merah mukamu,…
yang ku acuhkan meski sejenak,… tautanmu kepada kenyataan.
Kita melangkah bersama demi untukNya,…
Maafkan,… itulah yang ku lupa.



Wahai belahan jiwa,…maafkan,…
Yang biasa kubuat syair-syair indah,
Berpondasikan segenap rasa,…
Tetapi,… mengapa tak seindah syair-syair untukmu,..?
Syair-syair sekokoh sarang laba-laba penuh jelaga.
Wahai belahan jiwa,… maafkan.
Yang telah melupakan cita-cita dan impian tujuan kita bersatu

Malam itu,… wahai belahan jiwa,…
Engkau tersenyum,…Engkau memanja,…
Engkau takutkan hati yang berpaling.
Hatimu begitu halus,…
Engkau tersenyum dan memanja, namun,…
Buliran bening runtuh dari sudut itu.
Malam itu,… wahai belahan jiwa.
Sungguh aku tak tahu,.. dalam terbata dan berat kata-katamu,…
Kalau ternyata aku telah dholim atas engkau.
Belahan jiwa,… maafkan.

Wahai belahan jiwa,…
Ketahuilah,.. Meski syairku tak segenap rasa,…
Meski tak seindah cerita nirwana.
Hatiku, jiwaku tak berpaling daripada Nya
Kuharap hati dan jiwamu juga,…
Meski raga berkata lain,…
Wahai belahan jiwa,… jangan tertipu,… oleh raga dan muslihat rupa
Ingatlah wahai,…belahan jiwa yang kusayang,
dari kerugian-kerugiannya.
Tahun ini harus lebih baik dari tahun sebelumnya,…
Engkau ingatkan itu,… wahai belahan jiwa.
(*** 1 /1/1431 H ***)
Wahai belahan jiwa,…
Maafkan aku,… dan mari kita ingat lagi tujuan kebersatuan kita.
Ingatlah ketika ku sadurkan syair pujangga ini,…
“jikalau engkau bumi, Ku kan jadi mentarimu,…
Engkau mengharapkan akan sinarku.”
Meski kadang hitam mendung kelabu menutupinya,…
Ku kan tetap menyinarimu.
Meski kadang sinarku,…tertutupi dan engkau hanya dapati secercah,…
Dan terpancar ke yang lain,…
Maafkan,…
Wahai belahan jiwa,… hilangkan mendung kelabu dari bumi mu.

Ingatlah wahai belahan jiwa,…
Bahtera kita begitu penuh riak gelombang,…
dan kadang badaipun datang.
Ketika pekatnya malam,…
Bahtera kita serasa kehilangan halauan,…
Engkau harapkan tebaran sinar mentariku ketika pekatnya malam?
Wahai belahan jiwa,… itu tidaklah mungkin.
Biarlah tebaran sinarku menghampiri bumi-bumi yang lain.
Meski kusadar,… aku bukanlah sang surya penebar sinar.
Wahai belahan jiwa,…maafkan.
Kusadari,… ketika pekat malam harusnya ku kan tetap menyinarimu,…
Kusadari,… sinarku tak kan secerah mentari,..
Kusadari,… sinarku tak kan secerah rembulan yang sedang purnama,…
Kusadari,… sinarku hanyalah lilin dalam bahtera,…
Yang berlayar dalam pekatnya malam, yang bernaung dalam hembusan badai,…
Kusadari,.. sinarku kan padam ketika topan datang.
Wahai belahan jiwa,… terima kasih,…
Sayangku,… terima kasih,…
Telah engkau jaga pancaran sinar yang hampir meredup.

Wahai belahan jiwa,….
Karena engkaulah sangat berartinya pancaran sinar ini.
Meski tak seterang lilin bahkan hanya kerlip kunang-kunang pun.
Yang takkan mampu mencerahkan sudut kecil kamar kita.
Wahai belahan jiwa,… kutahu,…
Kadang sesak dadamu,… ketika mengingat malam itu.
Tapi aku bersyukur,..
Engkau tempatkan aku pada tempat yang sebenarnya tempat.
Engkau masih mengharapkan,…
Ar Rijalu Qawwammuna ‘ala nisa’.
Dan aku berharap engkau juga,…
Al Jannatu tahta aqdamil ummahat.

Wahai sayangku, belahan jiwaku,…
Marilah gapai cita-cita dan tujuan kebersatuan kita,..
Marilah kita berdoa,…
Semoga Alloh berkenan dan selalu membimbing hati kita,…
***
(untuk istriku tercinta, ibu dari anak-anakku Ismail dan Hussein)

1 comment:

Anonymous said...

Cie-cie Romantisnya,...
Amiin,.. smoga terkabul pak,..